AKUAKULTUR, SEMARANG – Kerusakan hutan mangrove di Indonesia disebabkan oleh aktivitas manusia dalam mencari nafkah. Kalimat itu disampaikan oleh Konsultan Nedworc Foundation bernama Roel H Bosma. Keberadaan hutan mangrove mulai tergantikan dengan tambak-tambak. Padahal, dampak penebangan mangrove tidak hanya merusak habitat biota laut namun juga tempat tinggal masyarakat. “Dibandingkan dengan Filipina, Kabupaten Demak, Indonesia tidak memiliki green belt yang lebar. Mangrove di Demak tidak melindungi tambak, mangrove tersapu gelombang dan hanya tersisa beberapa baris saja”, ujarnya. Hal ini disampaikan pada Webinar seri 1 dengan tajuk Associated Mangrove Aquaculture (AMA) yang diinisiasi oleh Wetland International dan Ecoshape Foundation, dengan kontribusi partner Departemen Akuakultur Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro (FPIK UNDIP), Blue Forest dan Wetland Internasional Indonesia.

Lebih lanjut, Roel mengatakan saat ini kesadaran masyarakat untuk menjaga hutan mangrove mulai tinggi. Mereka sudah mengetahui dampak buruk jika mangrove tidak ada dan dampak positif dari adanya hutan mangrove. Roel mengatakan dapat diprediksi nilai ekonomi total dari lingkungan mangrove di berbagai wilayah. Total economic value (TEV) ini dihitung berdasarkan empat kategori yang bervariasi menurut kondisi setempat.  “Sebagai contoh TEV hutan mangrove di Minahasa Selatan diperkirakan mencapai Rp 500 juta per hektar per tahun, hanya tambak udang terbaik yang bisa mendapatkan keuntungan seperti itu. Sebagian besar tambak udang tradisional berpenghasilan 10 – 40 kali lebih sedikit,” ucapnya Rabu, 2 Juni.

Webinar ini merupakan seri 1 dari keseluruhan 3 sesi webinar yang dikemas dalam Webinar Series Aquaculture Supporting Mangrove. Narasumber dari kalangan akademisi yaitu Prof. Dr. Ir Sri Rejeki, M.Sc dan Restiana Wisnu Ariyati, M.Si menyampaikan latar belakang, tujuan dan pendekatan Associated Mangrove Aquaculture serta Pemilihan lokasi yang sesuai untuk Tambak Terhubung Mangrove. Dibuka secara resmi oleh Dekan FPIK UNDIP, Prof. Dr. Ir. Tri Winarni Agustini, webinar ini merupakan salah satu outcome dari Research Collaboration antara FPIK UNDIP dengan berbagai instansi yang tergabung dalam Building with Nature Project dengan donor dari Ecoshape Consortium

Foto: Tegakan mangrove yang berada di area pertambakan.

Ditegaskan, FPIK sangat mendukung untuk pengembangan teknologi dan informasi guna meningkatkan kualitas akademisi di perguruan tinggi, kolaborasi dengan berbagai stakeholder dalam upaya pembangunan yang berkelanjutan. Hal serupa disampaikan oleh Dr. Sarjito, M.AppSc sekalu ketua Departemen Akuakultur FPIK UNDIP, “bahwasannya departemen kami sangat mendukung pembaharuan dan berkembangnya well proven teknologi khususnya di bidang akuakultur yang akan terus dilakukan oleh peneliti – peneliti  departemen ini untuk mendukung budidaya ramah lingkungan dan dalam meningkatkan ekonomi pesisir.”

 

Dampak positif tambak terhubung mangrove

Dengan sistem associated mangrove aquaculture kata Roel H Bosma, pihaknya berupaya membangun kembali green belt mangrove di muara sungai dan zona pasang surut di Indonesia. Dengan harapan petambak kecil bisa mendapatkan hasil yang lebih tinggi. Hal ini ditekankan pula oleh Sri Rejeki bahwa konsep AMA merupakan upaya membangun mangrove untuk green belt, dan bukan menanam mangrove pada tambak. Restiana W Ariyati dalam materinya menyampaikan lokasi yang tepat untuk AMA adalah tambak yang berbatasan dengan garis pantai dan berada pada pinggir sungai. Hal ini bermanfaat dalam memberi perlindungan kepada ekosistem pesisir yang berdampak pada peningkatan produksi dan ekonomi masyarakatnya. Dengan posisi mangrove di luar tambak dan di bantaran sungai, mangrove akan menjaga kualitas air, melindungi tambak, menangkap sedimen, melindungi pantai serta bantaran sungai, serta menyediakan habitat bagi ikan liar, udang, kepiting dan biota ekonomis.

Narasumber dari Wetland Internasional Indonesia, Eko Budi Priyanto, memaparkan pembangunan AMA pada lebih dari 100 lokasi di 9 Desa di Kabupaten Demak. “Kurang lebih dibutuhkan biaya Rp10 juta untuk aplikasi AMA sampai terbentuknya pematang yang kuat” paparnya. Lebih lanjut, Ira Wardani M.Sc, alumni Wageningen University yang kini bekerja di Deltares, sebuah lembaga independen untuk penelitian terapan di bidang air dan bawah permukaan, yang berkantor di Delft, The Netherlands menyampaikan beberapa desain tambak AMA. Dengan penerapan konsep ini, mengurangi resiko penurunan kualitas air dan tidak mengganggu produksi dari budidaya.

Sesi general QnA dipandu oleh Lestari (Riri) Widowati sebagai pembawa acara sekaligus moderator pada webinar ini. Riri menyampaikan antusiasme peserta webinar dengan datangnya berbagai pertanyaan pada narasumber, jenis mangrove yang tepat, fungsi mangrove sebagai menyerap polutan, perubahan fungsi lahan, kepemilikan lahan dan produktivitas tambak merupakan isu yang krusial. Pada akhir sesi, disebutkan pula bahwa Webinar series ini akan kembali hadir dalam tema yang berbeda, yaitu Aquaculture Field School/Sekolah Lapang Tambak dan Integrated Multi Tropic Aquaculture/Budidaya Terpadu berdasarkan Tropik Level pada tanggal 9 dan 16 Juni 2021. (Adm | Sumber berita : voi.id)