Akuakultur, Semarang – Kebutuhan benih lele yang unggul dapat terpenuhi dengan prosedur pembenihan yang baik. Pemeliharaan pada fase pembenihan merupakan fase kritis dalam kegiatan budidaya. Hal ini terjadi karena tingginya kematian saat fase larva dan benih. Kualitas air yang buruk menjadi salah satu faktor tingginya kematian larva. Di samping itu, kegagalan dalam produksi juga akibat penyakit infeksi jamur.
Permasalahan kualitas air dan penyakit infeksi dapat mengakibatkan kerugian bagi pembudidaya karena dapat menimbulkan kematian massal dan menurunkan produksi. Agus Jumaeri selaku pelaku usaha dan ketua POKDAKAN (Kelompok Budidaya Ikan) Lele Mandiri di Desa Ngarapah membenarkan bahwa hal tersebut menjadi masalah terbesar pada budidaya lele pada kelompoknya.
Tim dosen dari Departemen Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, yang terdiri dari Dicky Harwanto, S.Pi., M.Sc., Ph.D ., Prof. Dr. Ir. Sarjito, M.App.Sc. dan Dr. Ir. Desrina, M.Sc., telah melakukan Kegiatan Pengabdian kepada masyarakat di POKDAKAN lele Mandiri di Desa Ngrapah, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang. pada 24 Oktober 2024. Kegiatan ini bertujuan untuk mentransfer teknologi penggunaan sistem budidaya resirkulasi yang terintegrasi dengan hindroponik dan sinar ultra violet untuk memperbaiki kualitas air dan mengendalikan infeksi jamur pada benih ikan lele.
Aplikasi biofilter kaldnes dan tanaman bawang putih diharapkan dapat memperbaiki kualitas air dengan cara merombak senyawa anorganik beracun pada air. Disamping itu, pendapatan pembudidaya diharapapkan juga meningkat dari panen bawang putih. Aplikasi UV filter diharapkan dapat membunuh jamur dan parasite sehingga benih lele dapat tumbuh dengan baik. Dengan demikian, maka sistem ini mampu mewujudkan tujuan SDGs-12 yaitu Konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab.
Komentar Terbaru